Jumat, 10 Juni 2011

ADAPTASI MANUSIA TERHADAP KETINGGIAN


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Manusia membutuhkan ruang untuk hidupnya, yaitu lingkungan tempat tinggal. Sehingga lingkungan tidak bisa dipisahkan dari manusia. Lingkungan itu sendii merupakan suatu kekuatan yang sangat potensial dalam perngaruhnya terhadap organisme. Istilah lingkungan menyatakan suatu kondisi yang sangat kompleks, tiap-tiap kondisi bekerja dengan derajat intensitas dan waktu yang berbeda. Kondisi ini dapat meliputi variasi dalam suhu, kelembaban, tekanan barometer, jumlah dan macam partikel di udara, cahaya matahari, radiasi kosmik, makanan, air, kandungan mineral dalam tanah dan semua yang termasuk di bawah sosial ekonomi.
Lingkungan mempunyai pengaruh yang begitu besar, sehingga untuk bertahan hidup manusia harus dapat menyesuaikan diri dalam mengatasi segala tekanan yang datang dari lingkungan tersebut dengan melakukan adaptasi. Adaptasi adalah suatu seri perubahan dalam organisme dalam mengatasi tantangan untuk hidup. Adaptasi meliputi adaptasi budaya dan adaptasi biologi. Dalam arti luas adaptasi biologi meliputi setiap proses biologis yang penting, yaitu proses  biokimia, fisiologis, dan genetik.
Manusia ataupun binatang di darat telah mengenal kehidupan pada kondisi lingkungan di ketinggian (high altitude) sejak ribuan tahun yang lalu, mengingat telah banyak kelompok masyarakat sejak zaman prasejarah yang hidup di pegunungan tinggi seperti Tibet, Andes dan Afrika Timur. Perbedaan ketinggian mempunyai perbedaan niche ekologi. Hidup pada tempat tinggi akan menerima stress ekologis yang kompleks, diantaranya tekanan barometer yang rendah (dengan turunnya tekanan oksigen dan karbon dioksida di udara), kelembapan udara yang rendah dan suhu udara yang dingin, medan yang sulit, serta dibutuhkan aktivitas muskular yang tinggi.
Makalah ini bertujuan untuk mengupas masalah-masalah lingkungan yang dihadapi pada daerah tempat tinggi serta proses adaptasi yang dilakukan oleh manusia terhadap ketinggian.
B.     Tujuan
1.      Mengetahui pengertian adaptasi manusia
2.      Mengetahui mekanisme adaptasi manusia
3.      Mengetahui macam stress lingkungan pada tempat tinggi
4.      Mengetahui mekanisme adaptasi manusia terhadap ketinggian
5.      Mengetahui patofisiologi ketinggian

C.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian adaptasi manusia ?
2.      Bagaimana mekanisme adaptasi manusia ?
3.      Apa saja macam stress lingkungan pada tempat tinggi ?
4.      Bagaimana mekanisme adaptasi manusia terhadap ketinggian ?
5.      Apa saja patofisiologi ketinggian ?

BAB II
ISI

A.     Pengertian Adaptasi
Adaptasi merupakan konsep sentral dalam ekologi kesehatan, yaitu penyesuaian dan perubahan yang memungkinkan suatu populasi untuk menjaga atau memelihara dirinya sendiri dalam lingkungannya. Karena hubungan dengan lingkungan dan ekologi berubah seiring waktu karena adaptasi merupakan proses yang terus menerus. Adaptasi meliputi baik kontinuitas dan perubahan retensi dari sifat yang dapat bertahan hidup dan seleksi untuk varian yang menguntungkan.
Adaptasi meliputi kejadian evolusi mayor, pertumbuhan individu, dan tingkah laku serta perubahan fisiologis tetap, hanya beberapa jam atau beberapa menit. Adaptasi secara tidak langsung menunjukkan antitesisnya yaitu jika pada suatu jalan, suatu fungsi bersifat adaptif, lainnya akan kurang adaptif atau maladaptif  di bawah kondisi yang sebanding. Sebagai contoh kemapuan untuk memacu kecepatan jantung dan respirasi saat seseorang lari akan adaptif jika mampu meningkatkan ketersediaan energi dan oleh karena itu dapat melakukan beberapa aktivitas seperti melarikan diri dari b ahayua atau menangkap mangsa. Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas semacam akan relatif adaptif karena akan membatasi bentuk hidup seseorang.  
Komponen yang penting dari adaptasi adalah menyusun hubungan dalam suatu sistem ekologi, terutama hubungan yang mempengaruhi kesehatan organisme saling mempengaruhi satu sama lainnya dan saat umpan balik berperan dalam merubah tingkat kesehatan mortalitas dan reproduksi, kode informasi berperan yang menanggapi umpan balik ini. Pada manusia, baik kode genetik untuk proses biokimia dan kode kultural untuk teknologi, sosial dan proses kognitif. Kedua macam kodse tersebut merupakan mekanisme untuk survival.


B.     Mekanisme Adaptasi
Adaptasi dilakukan untuk mengahdapi stress lingkungan, yaitu suatu kondisi yang mengganggu fungsi normal organisme. Fungsi dari adaptasi adalah kesesuaian manusia dengan lingkungannya, terjadi melalui hubungan yang kompleks diantara mereka sendiri dengan lingkungan fisik, biologi, dan sosial, serta meliputi indikasi fisiologis, psikologis, sosial, dan genetik. Jadi dalam menghadapi tekanan lingkungan bentuk fungsional organisme dapat bersifat temporal atau permanen melalui proses yang pendek atau seumur hidup meliputi fisiologis, struktural, tingkah laku dan perubahan budaya.
Berdasarkan sifatnya, secara garis besar, adaptasi dibedakan dalam adaptasi biologi dan adaptasi budaya. Adaptasi biologhi adalah adaptasi yang terjadi pada keseluruhan tubuh atau bagian tubuh manusia dalam mempertahankan fungsi normalnya sehingga ada yang lebih menyukai dengan menyebutnya sebagai adaptasi fungsional. Sedang adaptasi budaya meliputi adaptasi dalam tingkah laku, sosial serta peralatan yang merupakan respon non biologis. Baik adaptasi biologi maupun budaya keduanya bertujuan untuk tercapainya keadaan homeostasis, yaitu kemampuan organisme untuk menjaga kestabilan lingkungan. Pada tingkat fungsional, semua respon adaptasi organisme atau individu dilakukan untuk mengembalikan homeostatis internal, sehingga terjaganya keseimbangan dinamis. Homeostatis merupakan fungsi dari interaksi dinamis, mekanisme umpan balik, dimana stimulus yang diberikan memberikan respon yang bertujuan mengembalikan keseimbangan awal. Keperluan untuk terpeliharanya homeostatis didasrakan pada kenyataan bahwa fungsi seluler terbatas untuk variasi yang lebih kecil. Kegagalan untuk mengaktivasi proses adaptasi fungsional akan menyebabkan kegagalan untuk mengembalikan homeostatis yang akan menghasilkan maladaptasi organisme dan kadang mengurangi kapasitas individu.
1.      Adaptasi Fungsional
Adaptasi fungsional meliputi perubahan dalam fungsi sistem organ, fisiologi, histologi, morfologi, dan komposisi biokimia, hubungan anatomi, dan komposisi badan, baik bebas ataupun menyatu dengan organisme secara keseluruhan Perubahan ini dapat terjadi melalui
a.       Aklimatisasi
Yaitu perubahan yang terjadi dalam hidup suatu organisme yang mengurangi ketegangan yang disebabkan oleh perubahan tekanan pada iklim alam atau stress lingkungan yang kompleks. Jika ciri adaptif menyertai selama periode pertumbuhan organisme, proses ini disebut adaptasi perkembangan atau aklimatisasi perkembangan.
b.      Akllimasi
Yaitu perubahan biologis adaptif yang terjadi sebagai respon terhadap stress induksi eksperimental tunggal daripada stress kompleks sebagaimana terjadi pada aklimatisasi.
c.       Habituasi
Yaitu reduksi gradual dari respon terhadap atau persepsi dari stimulasi yang berulang-ulang. Dalam waktu lama, habituasi merupakan penurunan respon syaraf yang normal, misalnya pengurangan sensasi nyeri. Perubahan dapat terjadi untuk keseluruhan organisme (habituasi umum), ataupun dapat spesifik untuk bagian tertentu dalam organisme (habituasi spesifik). Habituasi tergantung pada pembelajaran dan pengkondisian yang memungkinkan organisme untuk memudahkan respon yang telah ada terhadap stimulus baru.
Perubahan fisiologis terjadi lebih cepat daripada perubahan genetik dan lebih sering reversible, perubahan ini membentuk sistem respon yang bertingkat dimana penyesuaian jangka pendek dan jangka panjang pada jenis yang berbeda dilakukan oleh individu yang bervariasi dalam kemampuan genbetiknya untuk membuat penyesuaian yang sukses. Terdapat tiga tingkatan adaptasi fisiologis, yaitu aklimasi, merupajan penyesuan jangka pendek terhadap stress lingkungan yang terjadi secara cepat ; aklimatisasi, penyesuaian lebih jauh tetapi masih merupakan respon reversible terhadap perubahan untuk jangka waktu yang lebih lama ; dan aklimatisasi lanjut yang sifatnya radikal dan hasilnya reversible selama pertumbuhan.
2.      Adaptasi Budaya
Adaptasi budaya yaitu respon nonbiologis individu atau populasai untuk memodifikasi atau mengurangi stress lingkungan. Adaptasi budaya merupakan mekanisme penting yang mempermudah adaptasi biologi manusia. Melalui adaptasi budaya manusia dapat bertahan hidup dan mendiami jauh ke daerah dengan lingkungan yang ekstrem. Manusia adalah hewan yang mempunyai kebudayaan, yang membuat alat-alat untuk mengeksploitasi lingkungan, mempunyai bahasa untuk komunikasi, serta mempunyai organisasi sosial sebagai alat untuk menghadapi lingkungan. Tidak seperti hewan lain yang mengeksploitasi dan beradaptasi terhadap lingkungan dengan biologi dan raganya, maka manusia melakukannya terutama dengan budaya, jadi secara ekstrabiologis dan supraorganis.
Wujud adaptasi budaya manusia misalnya dalam konstruksi rumah, penggunaan bermacam-macam pakaian pada iklim yang berbeda, pola tingkah laku tertentu, dan kebiasaaan kerja yang menunjukkan adaptasi terhadap stress iklim. Perkembangan pengobatan dari cara primitif sampai modern dan kenaikan produksi energi yang menyertai revolusi industri dan pertanian, juga menunjukkan adaptasi budaya manusia terhadap lingkungan fisik.
3.      Adaptasi Genetik
Adaptasi genetik menunjukkan ciri pewarisan yang mempermudah toleransi dan survival suatu individu atau populasi padasebagian lingkungan total. Adaptasi genetik dibentuk melalui aksi seleksi alam yaitu mekanisme dimana genotip individu tersebut menunjukkan adaptasi terbesar (fitness). Kisaran panjang keberhasilan bergantung pada stabilitas dan variabilitas genetiknya. Lebih besar adaptasi maka lebih lama individu atau populasi akan survive. Perubahan genetik merupakan mekanisme adaptasi yang paling lambat dan paling sedikit dapat kembali lagi. Karena individu memiliki potensial genetik untuk adaptasi fisiologis, sangat sulit untuk memisahkn bentuk fisiologis dan genetik dari adaptasi, misalnya toleransi laktosa pada populasi yang mengkonsumsi susu.  

C.     Adaptasi Terhadap Ketinggian
Adaptasi manusia terhadap ketinggian meliputi relatif sebagian kecil dari populasi dunia, hanya sekitar 25 juta orang (kurang dari 1 % masyarakat di dunia) tinggal di tempat yang tinggi. Beberapa daerah di dunia yang mempunyai ketinggian di atas 3000 m dpl yang dihuni oleh manusia antara lain adalah sebagai berikut :
1.      Pegunungan Rocky di Amerika Serikat dan Canada
2.      Sierra Madre di Meksiko
3.      Pegunungan Andes di Amerika Selatan
4.      Pegunungan Pyrenes di antara Prancis dan Spanyol
5.      Jajaran Pegunungan Turki Timur, Persia, Afganistan, dan Pakistan
6.      Pegunungan Himalaya
7.      Dataran Tinggi Tibet dan China Selatan
8.      Pegunungan Atlas di Moroko
9.      Dataran Tinggi di Ethiopia
10.  Pegunungan Tinggi Kalimanjaro di Afrika Timur
11.  Dataran Tinggi Basuto di Afrika Selatan
12.  Pegunungan Tien Shan di Rusia
Dataran tinggi tibet dan Andes dihuni oleh ras mongoloid. Penelitian antropometrik dan fisiologis menunjukkan bahwa Indian Andes mempunyai dada, paru-paru dan jantung yang besar serta darah dengan rasio korpuskulum darah merah yang tinggi.
Penduduk yang mendiami daerah tinggi menunjukkan tiga modal utama dalam adaptasi, yaitu :
1.      Perubahan fisiologis jangka pendek
2.      Modifikasi selama pertumbuhan dan perkembangan
3.      Modifikasi unggun gena
Penduduk yang tinggal di pegunungan tinggi menggunakan obat-obatan seperti alkohol dan coca (tanaman yang menghasilkan narkotika kokain). Untuk mengurangi beban psikologisnya. Penduduk pada tempat tinggi membuat penyesuaian anatomis dan fisiologis yang khas, yang memberinya kapasitas untuk dapat bekerja pada udara pegunungan yang tipis. Mereka cenderung mempunyai kaki pendek, tumbuh lebih lambat dan volume thoraks yang besar, dada yang membulat dan tulang sternum yang panjang mengakomodasi paru-paru yang lebih besar di dalam costae dan sternum. 

D.    Stress Lingkungan pada Tempat Tinggi
Lingkungan dataran tinggi mempunyai kondisi yang berbeda dengan dataran rendah, baik dalam komposisi udara, tekanan oksigen, topografi, cuaca, jenis dan komposisi tanah, habitat, dan sebagainya yang kesemuanya menuntut jenis dan besar aktivitas fisik yang berbeda. Phyle dalam Janatin Hastuti (2005) menyatakan bahwa perbedaan dalam ketinggian mempunyai perbedaan dalam ekologi. Hidup pada tempat tinggi akan menerima stress ekologis yang kompleks, diantaranya sebagai berikut :
1.    Hipoksia
2.    Barometer rendah
3.    Radiasi matahari tinggi
4.    Suhu udara dingin
5.    Kelembaban udara rendah
6.    Angin kencang
7.    Nutrisi terbatas
8.    Medan yang terjal
Dengan bertambahnya ketinggian maka tekanan barometer menurun dan kepadatan udara juga menurun. Lingkungan udara pada tempat tinggi dengan tekanan dan kadar oksigen rendah merupakan faktor yang berpengaruh besar dalam adaptasi fisik maupun fisiologis manusia yang tinggal di tempat tinggi. Udara yang tipis (tekanan oksigen atmosfer yang rendah) pada tempat tinggi menimbulkan permasalahan lingkungan yang tidak dapat dimodifikasi oleh campur tangan manusia hingga abad ini.

E.     Hipoksia Ketinggian
Dari segi fisiologis, stress lingkungan yang paling penting adalah hipoksia. Telah diketahui pula secara alami terjadi proses adaptasi fisiologis terhadap kondisi lingkungan pada tempat yang tinggi. Dimana adaptasi ini adalah konsekuensi terjadinya hipoksia karena pengurangan jumlah molekul oksigen yang dihirup pada waktu bernapas. Hipoksia merupakan keadaan dimana terjadi defisiensi oksiegn yang mengakibatkan kerusakan sel akibat penurunan respirasi oksidatif aerob sel. Hipoksia merupakan penyebab penting dan umum dari cedera dan kematian sel. Tergantung pada beratnya hipoksia sel dapat mengalami adaptasi, cedera atau kematian. Hipoksia merupakan keadaan dimana terjadi kekurangan oksigen yang mencapai jaringan, gejala yang tampak antara lain mual, nafas pendek, dan pusing. Hipoksia pada tempat tinggi merupakn stress yang tidak mudah dimodifikasi oleh manusia dengan respon budaya maupun tingkah laku dan lebih jauh, semua sistem organ dipengaruhi oleh hipoksia.
Adaptasi biologis terhadap hipoksia tertutama tergantung pada tekanan parsial oksigen di atmosfer, yang secara proporsional menurun dengan bertambahnya ketinggian. Udara mengandung 78,08 % nitrogen, 0,03 % CO2, 20,95 % O2, dan 0,01 % unsur lain. Gas ini bersama-sama mempunyai tekanan 760 mmHg pada 0 dpl dan disebut dengan tekanan barometer. Tekanan tiap-tiap gas berhubungan secara proporsional dengan jumlahnya, sehingga tekanan oksigen sebesar 159 mmHg. Pada ketinggian 3500 m tekanan barometer berkurang menjadi 493 mmHg dan tekanna oksigen berkurang hingga 35% dibandingkan dengan permukaan laut, dan pada ketinggian 4500 m tekanan parsial oksigen menjadi 91 mmHg atau turun sebesar 40 %. Turunnya tekanan oksigen pada tempat tinggi menyebabkan berkurangnya saturasi oksigen darah arteri karena proporsi pembentukan oksihemoglobin dalam darah tergnatung pada tekanan parsial oksigen dalam alveoli.
Manusia sendiri baru mengenal kehidupan di ketinggian yang direkayasa setelah mampunya dibuat pesawat terbang pertama kalinya dengan ketinggian jelajah di atas 10.000 kaki, terutama pesawat militer untuk peperangan. Pada manusia yang mencapai ketinggian lebih dari 3.000 m (10.000 kaki) dalam waktu singkat, tekanan oksigen intra alveolar (PO2) dengan cepat turun hingga 60 mmHg dan gangguan memori, serta gangguan fungsi serebri mulai bermanifestasi. Pada ketinggian yang lebih saturasi O2 arteri (Sat O2) menurun dengan cepat dan pada ketinggian 5.000 m (15.000 kaki), individu yang tidak teraklimatisasi mengalami gangguan. Resiko klinis hipoksia akut pada ketinggian di atas 10.000 kaki juga kemudian diketahui terutama pada penerbangan unpressured cabin (kabin tanpa rekayasa udara). Kondisi-kondisi tersebut diantaranya (pada yang ringan) : penurunan kemampuan terhadap adaptasi gelap, peningkatan frekuensi pernapasan, peningkatan denyut jantung, tekanan sistolik, dan curah jantung (cardiac output). Sedangkan jika berlanjut terus akan terjadi gangguan yang lebih berat seperti berkurangnya pandangan sentral dan perifer, termasuk ketajaman penglihatan, dan pendengaran yang terganggu. Demikian juga kemampuan koordinasi psikomotor akan berkurang. Pada tahapan yang kritis setelah terjadinya sianosis dan sindroma hiperventilasi berat, maka tingkat kesadaran akan berlangsung hilang dan pada tahaop akhir dapat terjadi kejang dilanjutkan dengan henti napas. Secara umum dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Tahap-tahap Hipoksia.
Radak et al mengemukakan hasil penelitian tentang perubahan aktivitas enzim antioksidan dan kenaikan level peroksida lipid pada serta otot terhadap pajanan 12 jam di ketinggian. Hasil serupa ditunjukkan pada studi manusia yang dilakukan oleh Moller et al (2001). Sebanyak 12 sukarelawan dipajankan pada ketinggian 4559 m yang berakibat kerusakan pada DNA dan kenaikan peroksida lipid. Pada studi operasi Everest III, pada ketinggian 6.000 m kenaikan peroksida lipid sebanyak 23 % dan menjadi 79 % pada ketinggian 8848 m menunjukkan kenaikan level kerusakan oksidatif sejalan dengan peningkatan ketinggian. Pada level seluler, hipoksia dapat mengakibatkan stress oksidatif pada sel. Sel menghasilkan energy melalui reduksi molekul O2 menjadi H2O. Dalam proses metabolism normal, molekul-molekul oksigen reaktif yang tereduksi dihasilkan dalam jumlah kecil sebagai produk sampingan respirasi mitokondrial. Molekul-molekul oksigen reaktif tereduksi ini dikenal sebagai spesies oksigen reaktif (reactive oxygen species / ROS). Sel memiliki mekanisme pertahanan untuk mencegah kerusakan akibat molekul ini yang dikenal sebagai sistem antioksidan. Ketidakseimbangan antara proses pembentukan dan eliminasi (scavenging) radikal bebas berakibat pada stress oksidatif.
Seseorang yang belum lama berada pada tempat tinggi akan mengalami adaptasi fisiologis yang merupakan efek permulaan dan respon cepat terhadap hipoksia. Menurut Frisancho (1979) dalam Tutiek Rahayu, efek fisiologis hipoksia sangat kompleks dan bermacam-macam, yang meliputi :
1.         Fungsi Paru-Paru
Efek fisiologis pada paru-paru berupa bertambah besarnya ventilais paru-paru seiring dengan bertambahnya ketinggian tempat. Volume respirasi per menit pada ketinggian 5000 m naik sekitar 45-69% daripada di daerah permukaan laut. Menurut hasil penelitian saat ini, kenaikan ventilasi paru-paru disebabkan oleh stimulasi badan varoid dan kemoreseptor lainnya oleh hipoksemia. Sebagai akibat dari kenaikan ventilasi pembuangan karbondioksida juga meningkat, yang menyebabkan terjadinya alkalosis respiratorik.
2.         Fungsi Sirkulasi pada Jantung
Dengan bertambahnya hipoksia kecepatan denyut jantung bertambah dari rerata 70 detak per menit menjadi sekitar 105 per menit pada ketinggian 4500 m. Jam-jam pertama setelah tiba pada ketinggian tertentu, denyut nadi saat istirahatmenurun dan kemudian meningkat, pada ketinggian 2000 m peningkatan adalah 10% dan pada ketinggian 4500 m adalah 50%.
3.         Darah
Meliputi kenaikan produksi sel darah merah dan konsentrasi hemoglobin, kenaikan volume darah serta aktivitas erythropoietik. Pada ketinggian 5000 m jumlah sel darah merah naik dari 5 juta menjadi 7 juta per mm3, kenaikan terjadi pada hari ke 7-14 setelah berada pada ketinggian tersebut. Volume darah bertambah dari 40ml/kg menjadi 50 ml/kg pada ketinggian 4540 m selama 1-3 minggu. Kenaikan produksi sel darah merah tersebut disebabkan oleh kenaikan aktivitas erythropoietik
4.         Sirkulasi Retinal
Setelah 2 jam berada di ketinggian 5330 m diameter arteri dan vena retinal akan naik sekitar seperlimanya.
5.         Sensitivitas Cahaya
Semakin tinggi tempat semakin besar penurunan sensitivitas cahya. Pada ketinggian diatas 4500 m, dibutuhkan sekitar 2,5 kali intensitas normal pada dpl untuk cahaya agar bisa nampak.
6.         Memori dan Pembelajaran
Memori akan menurun dengan bertambahnya ketinggian terutama diatas 3660 m.
7.         Pendengaran
Mempunyai sensitivitas paling rendah terhadap hipoksia. Penurunan ketajaman pendengaran dapat terjadi pada ketinggian lebih dari 6000 m.

8.         Fungsi Motorik
Pada ketinggian lebih dari 4500 m dilaporkan terdapat gejala kelemahan dan inkoordinasi muskuler yang belum jelas disebabkan oleh penurunan kapasitas fungsional otot itu sendiri atau ketiadaan stimulasi otot.
9.         Perasa dan Pengecap
Berada pad atempat tinggi mempengaruhi pemilihan makanan, pada umumnya lebih suka memilih gula dan keinginan untuk lemak menurun. Rasa manis gula berkurang pada tempat tinggi dan dibutuhkan sekitar dua kali jumlah normal untuk rasa manis yang sama di daerah rendah.
10.     Anoreksia dan Kehilangan Berat Badan
Penurunan berat badan disebabkan oleh penurunan konsumsi makanan dan juga oleh kehilangan air badan. Salah satu akibat utama anoreksia adaah ketidakseimbangan antara energi yang masuk dengan energi yang keluar.
11.     Aktivitas Ginjal
Terjadi kenaikan aktivitas pada korteks dan medulla ginjal, reduksi sekresi aldosteron dan kenaikan kadar renin dalam plasma
12.     Fungsi Tiroid
Berada pada tempat tinggi menyebabkan penurunan fungsi tiroid serta retensi iodium.
13.     Sekresi Testosteron
Berada pada ketinggian 4250 m selama 3 hari pertama menyebabkan penurunan sekresi testosteron lebih dari 50% yang disebabkan oleh turunnya Luiteinizing Hormon dalam plasma
14.     Fungsi Seksual
Meliputi penurunan spermatogenesis, perubahan histologis pada testis, terganggunya seklus estrus dan meningkatnya gangguan menstruasi
Toleransi terhadap tempat tinggi dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu umur, ketahanan fisik, dan jenis kelamin. Individu yang masih muda lebihbaik dalam melakukan adaptasi daripada yang sudah tua, ini disebabkan karena fungsi metabolisme tubuh pada usia muda masih baik juga mobilisasi air plasma dalam ruang interstitial atau ekstraseluler. Individu dengan ketahanan fisik yang tinggi memberi toleransi terhadap stress hipoksia lebih baik. Perempuan melakukan adaptasi terhadap ketinggian dengan lebih baik daripada laki-laki. 

F.      Mekanisme Adaptasi Terhadap Ketinggian
1.      Adaptasi Biologi
a.      Adaptasi Fungsional
Setelah efek permulaan dan respon terhadap stress ketinggian, biasanya dicirikan dengan menghilangnya gejala mountain sickness akut terjadi respon adaptasi yang berkembang secara gradual kadang membutuhkan waktu beberapa bulan hingga beberapa tahun untuk perkembangan yang lengkap. Frisancho  (1979) menyebutkan beberapa mekanisme adaptasi fungsional terjadi melalui aklimatisasi berhubungan langsung dengan ketersediaan oksigen dan tekanan oksigen pada jaringan, terjadi melalui modifikasi :
a.     Ventilasi paru-paru.
b.    Volume paru-paru dan kapasitas difusi pulmoner.
c.     Transport oksigen dalam darah.
d.    Difusi oksigen dari darah ke jaringan.
e.     Penggunaan oksigen pada tingkat jaringan.
Penduduk asli kota pada tempat tinggi beraklimatisasi terhadap tempat tinggi sejak lahir atau selama pertumbuhan mempunyai kapasitas aerobic yang lebih tinggi daripada subjek yang beraklimatisasi pada saat dewasa. Diantara subjek yang beraklimatisasi pada tempat tinggi selama masa pertumbuhan hampir 25% variabilitas dalam kapasitas aerobic dapat dijelaskan dengan faktor perkembangan dan dengan faktor genetis 20-25 % (Frisancho et al 1995 dalam Tutiek Rahayu). Hubungan antara tingkat aktivitas pekerjaan dan aktivitas aerobic yang lebih besar diantara subjek yang beraklimatisasi pada tempat tinggi sebelum umur 10 tahun daripada setelah umur tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa kapasitas aerobik normal pada tempat tinggi berhubungan dengan aklimatisasi perkembangan dan fakor genetik tetapi ekspresinya dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti aktivitas pekerjaan dan komposisi badan.
Kapasitas untuk beradaptasi pada tempat yang tinggi bervariasi pada tiap individu. Beberapa orang tidak pernah beraklimatisasi dengan sukses sementara lainnya dapat menyesuaikan diri tetapi tidak dapat bekerja dengan penuh.
Salah satu penyebab stress lingkungan di ketinggian untuk manusia yakni tekanan udara yang rendah yang menjadi faktor keterbatasan signifikan dalam daerah ketinggian.

Gambar 1. Tekanan udara menurun ketika ketinggian meningkat.
Presentase oksigen di udara pada ketinggian 2 mil (3,2 km) sama seperti sea level (21%). Namun tekanan udara lebih rendah 30 % pada ketinggian yang lebih jauh disebabkan molekul pada atmosfer lebih jarang sehingga letak molekul-molekul tersebut saling berjauhan. Ketika kita menghirup udara pada sea level, tekanan atmosfer sekitar 1,04 kg per cm2 yang menyebabkan oksigen dengan mudah melewati membrane permeable selektif paru menuju darah. Pada ketinggian tekanan udara yang lebih rendah membuat oksigen sulit untuk memasuki sistem vascular tubuh. Hasilnya berdampak pada hipoksia atau kekurangan oksigen.
Ketika kita bepergian ke daerah yang lebih tinggi tubuh kita mulai membentuk respon fisiologis yang efisien. Terdapat kenaikan frekuensi pernapasan dan denyut jantung hingga dua kali lipat walapun saat istirahat. Denyut nadi dan tekanan darah meningkat karena jantung memompa lebih kuat untuk mendapatkan lebih banyak oksigen. Kemudian tubuh mulai membentuk respon efisien secara normal yaitu aklimatisasi. Sel darah merah lebih banyak diproduksi untuk membawa oksigen lebih banyak. Paru-paru akan lebih mengembang untuk memfasilitasi osmosis oksigen dan karbondioksida. Terjadi pula peningkatan vaskularisasi otot yang memperkuat transfer gas.

Gambar 2. Proses aklimatisasi terhadap tekanan oksigen
 yang rendah.
Ketika kembali pada level permukaan laut setelah terjadi aklimatisasi yang sukses terhadap ketinggian, tubuh akan mempunyai lebih banyak sel darah merah dan kapasitas paru yang lebih besar. Berdasarkan hal ini, Amerika dan beberapa Negara lain sering melatih para atletnya di pegunungan. Akan tetapi, perubahan fisiologik ini hanya berlangsung singkat. Pada beberapa minggu tubuh akan kembali pada kondisi normal.

Gambar 3. Kondisi tubuh yang menguat untuk waktu singkat setelah kembali dari ketinggian.
b.      Adaptasi Biokimia
Pada ketinggian didapati terjadinya stress reduktif yang juga mengakibatkan peningkatan produksi radikal bebas oleh sistem transport electron mitokondria terutama pada kompleks I dan III. Pada hipoksia, terjadi penurunan jumlah oksigen yang tersedia untuk direduksi menjadi H2O pada sitokrom oksidase. Terjadilah akumulasi ekuivalen pereduksi yang menginduksi auto oksidasi kompleks mitokondria dan membangkitkan spesies oksigen reaktif. Hipoksia ini dapat menyebabkan peningkatan produksi spesies oksigen reaktif seperti anion superoksida (O2-), radikal hidroksil (-OH), dan hydrogen peroksida (H2O2) dari sel parenkim dan endotel vaskuler yang hipoksik. Maka dari itu, sel memiliki mekanisme pertahanan terhadap radikal bebas yakni berupa sistem antioksidan sebagai adaptasi biokimia dengan memiliki enzim-enzim antioksidan seperti superoksida dismutase (SOD), glutation peroksidase, dan katalase.
c.       Adaptasi Genetik
Faktor genetik berperan dalam adaptasi terhadap ketinggian dengan ditemukannya gen yang selektif pada lingkungan hipoksia. Individu dengan alel dominan untuk saturasi oksigen lebih tinggi mempunyai keuntungan selektif pada lingkungan tinggi yang hipoksia.
Belum banyak penelitian yang menghubungkan antara faktor genetik dengan ketinggian geografis. Gelvis meneliti manusia yang tinggal di dataran tinggi Tibet untuk mengetahui bagaimana protein melindungi enzim yang berperan dalam mekanisme perlindungan otot dari bahaya oksidatif. Hasil penelitian mereka menyebutkan adanya adaptasi pada tingkat protein yang menyebabkan orang Tibet mampu hidup di ketinggian. Simonson juga menemukan adanya bukti genetik adaptasi orang Tibet di dataran tinggi. Hasil penelitian mereka menunjukkan dengan akurat ternyata DNA orang Tibet tidak sama dengan orang yang hidup di dataran tinggi Tiongkok. Mereka menemukan dua gen yaitu EGLN 1 dan PPARA yang terletak pada kromosom manusia 1 dan 22. Peranan gen tersebut dalam adaptasi di dataran tinggi tidak jelas, baik EGLN1 dan PPARA dapat menyebabkan penurunan konsentrasi hemoglobin. Seluruh manusia mempunyai gen EPAS1, tetapi orang-orang Tibet mempunyai versi gen yang spesial. Melalui proses evolusi yang panjang, individu-individu yang mewarisi jenis gen ini mampu bertahan dan menurunkannya pada anak-anak mereka, sehingga jenis gen spesial ini menjadi sesuatu yang sudah lumrah di seluruh penduduk. Penelitian yang berhubungan dengan ketinggian untuk daerah ATPase6 mtDNA manusia sudah pernah dilakukan oleh Ariningtyas dan Humayanti. Mereka meneliti variasi mutasi pada populasi dataran rendah Cirebon dan dataran tinggi Kuningan. Hasil penelitian mereka belum ditemukannya mutasi spesifik untuk populasi dataran rendah dan dataran tinggi, karena mutasi A8701G dan A8860G yang ditemukan terdapat pada dua populasi yang diteliti.
2.      Adaptasi Budaya
Adaptasi ini adalah kebiasaan-kebiasaan penduduk untuk menyikapa keadaan alamnya sehingga terbentuk lah kebudayaan-kebudayaan. Dengan kata lain, adaptasi budaya yaitu respon nonbiologis individu atau popilasi untuk memodifikasi atau mengurangi stess lingkungan. Adaptasi budaya merupakan mekanisme penting yang mempermudah adaptasi biologi manusia. Melalui adaptasi budaya manusia dapat bertahan hidup dan mendiami jauh ke kondisi lingkungan yang ekstrim. Manusia adalah hewan yang mempunyai kebudayaan, yang mebuat alat-alat untuk mengeksploitasi lingkungan, mempunyai bahasa untuk berkomunikasi,  serta mempunyai organisasi sosial sebagai alat untuk menghadapi lingkungan. Tidak seperti hewan lain yang mengeksploitasi dan beradaptasi trhadap lingkungan dengan biologi dan raganya, maka manusia melakukannya teruyama dengan budaya, jadi secara ekstrabiologis atau supraorganis. Wujud adaptasi budaya manusia misalnya :
a.       Konstruksi rumah
Konstruksi rumah di dataran tinggi biasanya dibangun dengan tembok yang lebih tebal atau dari kayu untuk menjaga kehangatan suhu ruangan. Ventilasi dan jendela besar, kadang banyak agar sirkulasi udara baik mengingat tekanan oksigen di daerang tinggi relatif kecil.
   (sumber: adhvara.com)
  (sumber: denyrendra.net)
Gambar 4 Contoh rumah kayu di dataran tinggi

(sumber: pricearea.com)
Gambar 5 Contoh rumah tembok di dataran tinggi
b.      Penggunaan pakaian pada bermacam-macam iklim
Penduduk yang tinggal di daerah tinggi dengan hawa dingin menggunakan pakaian yang tebal untuk menghindari hilangnya pengeluaran panas yang berlebihan dari tubuhnya.
c.       Pola tingkah laku tertentu
Penduduk di daerah tinggi cenderung lebih sering berjalan kaki jauh daripada yang tinggal di daerah perkotaan sehingga lebih kuat berjalan kaki.
d.      Pengobatan dari cara primitif sampai cara modern
Penggunaan informasi budaya yang dilakukan oleh kelompok sosial dan ditransformasikan melalui pembelajaran pada tiap generasi merupakan salah satu bentuk respon adaptif yang berkembang pesat pada manusia, contoh salah satu aspeknya adalah perkembangan sistem medis.
e.       Kebiasaan kerja yang menunjukkan adaptasi terhadap stress iklim
Kenaikan produksi energi yang menyertai revolusi industri dan pertanian.
Budaya dan teknologi mempermudah adaptasi biologi, tetapi juga menciptakan dan terus menciptakan kondisi stress baru yang membutuhkan respon adaptasi baru pula. Suatu modifikasi kondisi lingkungan dapat dihasilkan oleh perubahan yang lainnya, misalnya kemajuan dalam ilmu pengetahuan kedokteran dengan sukses mengurangi kematian bayi dan orang dewasa pada tingkat di mana populasi dunia tumbuh pada kecepatan eksplosif dan meskipun sumber makanan bertambah, tetap akan terjadi kelaparan.
Teknologi barat meskipun menaikkan standar hidup juga menciptakan polusi lingkungan yang menjadikan hidup dan kesehatan tidak bagus lagi. Jika proses ini berlangsung terus tanpa kontrol, polusi lingkungan akan menjadi suatu kekuatan selektif lain yang menuntut manusia harus beradaptasi melalui proses biologis atau budaya atau akan mengalami kemusnahan. Adaptasi yang dilakukan manusia pada dunia sekarang mungkin tidak sesuai lagi dengan bentuk pertahanan hidup di dunia pada masa yang akan datang, kecuali manusia belajar untuk menyesuaikan budaya dengan kapasitas biologisnya.

G.    Pertumbuhan Dan Perkembangan Anak Pada Ketinggian
1.    Pertumbuhan dan perkembangan prenatal
Pada daerah tinggi, struktur prenatal terutama plasenta mengalami modifikasi oleh stress lingkungan tempat tinggi, yaitu dengan menambah luas permukaan yang menyediakan proses difusi oksigen dan transfusi darah ibu dari fetus, serta dengan mengurangi resistensi barier plasenta terhadap transfer oksigen. Penelitian menunjukkan bahwa bentuk plasenta yang irreguler terdapat tiga kali lebih banyak pada tempat tingi daripada di daerah permukaan laut dan berat plasenta rerata antara 10-15% lebih berat. Dengan modifikasi tersebut menghasilkan reduksi hampir setengah dari gradien tekanan oksigen antara darah ibu dan fetus, dan konsentrasi oksigen mencapai darah fetus per kg jaringan yang disuplai mendekati nilai pada daerah permukaan.
Penelitian di daerah tinggi Bolivia dan Himalaya Barat menunjukkan bahwa bayi yang lahir didaerah tinggi cenderung mempunyai berat lahir yang rendah. Di daerah Bolivia, bayi yang lahir dengan berat lahir rendah mempunyai angka mortalitas lebih rendah daripada yang lahir dengan berat rendah di daerah pantai. Ini merupakan bentuk adaptif di daerah tinggi dimana kadar oksigen rendah.
2.    Pertumbuhan dan perkembangan postnatal
Pertumbuhan dan perkembangan di daerah tinggi cenderung mengalami penundaan. Penelitian secara mikroskopis menemukan bahwa kemunduran pertumbuhan yang disertai hipoksia tempat tinggi disebabkan oleh jumlah sel yang lebih sedikit, sedang yang disertai malnutrisi disebabkan oleh penurunan jumlah sitoplasma. Penelitian lain menunjukkan bahwa hipoksia mempengaruhi multiplikasi seluler dan protein otak. Penelitian pada populasi Andes seperti dari dataran tinggi Peruvia, Chili dan Bolivia menunjukkan terdapatnya penundaaan pertumbuhan postnatal dibandingkan dengan populasi daerah rendah dibawah kondisi nutrisi dan status ekonomi yang sebanding.
Pertumbuhan anak-anak pada daerah tinggi dan daerah pantai tidak menemukan adanya perbedaan dalam kecepatan pertumbuhan pada kedua populasi dan menduga bahwa hipoksia pada tempat tinggi mempunyai peranan yang relatif kecil dalam pertumbuhan selama 5 tahun pertama setelah kelahiran dan nampaknya yang lebih berperan adalah faktor nutrisi dan penyakit.
Faktor nutrisi berperan secara signifikan terhadap pola pertumbuhan dan menunjukkan bahwa kekuatan sosial dan lingkungan bekerjasama untuk menciptakan tingkat perbedaan dari stress yang berperan terhadap variasi dalam biologi. Penelitian pada populasi Nunoa di Peru, menemukan bahwa variasi dalam pertumbuhan diantara populasi yang tinggal di tempat tinggi dapat dihasilkan dari beberapa faktor yaitu perbedaan tingkat hipoksia ketinggian, perbedaan genetik, nutrisi dan sosioekonomi.
Pola pertumbuhan dan perkembangan di tempat tinggi merupakan refleksi interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Faktor lingkungan yang berpengaruh besar yaitu hipoksia, dingin dan energi (nutrisi).
 
H.    Aklimatisasi Terhadap Ketinggian
Setelah beberapa waktu tinggal di ketinggian terjadilah penyesuaian dengan iklim lingkungan setempat (aklimatisasi). Ventilasi paru terus meningkat dan juga terjadi peningkatan progresif dari jumlah eritrosit dan Hb dalam beberapa bulan yang akan membantu memulihkan kandungan O2 dan transportasinya. Juga terdapat peningkatan kapilarisasi dan konsentrasi enzym-enzym oksidatif dalam otot-otot yang akan berperan meningkatkan performance. Perubahan-perubahan adaptif ini meningkatkan kemampuan endurance, tetapi tidak akan pernah mencapai nilainya di permukaan laut. Waktu untuk terjadinya aklimatissi penuh tergantung pada ketinggian dan bersifat individual. Diperlukan waktu sekitar 3 minggu untuk beraklimatisasi terhadap ketinggian sedang (2300-2700 m). Walaupun telah diperlukan waktu untuk terjadinya penyesuaian-penyesuaian ini, pada ketinggian 2300 m konsumsi O2 maximal tetap turun 6-7% di bawah nilai yang dapat diperoleh di permukaan laut. Hal ini berarti bahwa proses aklimatisasi memulihkan 3-4% kemampuan penampilannya. (Ingat: nilai konsumsi O2 max menurun 3% untuk setiap kenaikan 300 m di atas ketinggian 1500 m). Tetapi di atas 6000 m aklimatisasi tidak mungkin dan dengan pemaparan yang lama orang akan mengalami kemunduran, kehilangan berat badan dan kemampuan penampilannya.

I.       Patofisiologi Ketinggian
Patofisiologi ketinggian yang dimaksud adalah penyakit fisiologis yang disebabkan oleh stress lingkungan tempat tinggi. Terdapat beberapa penyakit fisiologis pada ketinggian seperti mountain sickness akut dan edema pulmoner. Mountain sickness akut terjadi selama beberapa hari pertama berada pada hipoksia tempat tinggi. Gejalanya umumnya meliputi anoreksia, mual dan muntah, kelelahan fisik dan mental, gangguan tidur dan sakit kepala. Sementara edema pulmoner mempunyai ciri patologis seperti edema yang tersebar luas pada alveoli, penyumbatan ekstensif kapiler dengan bekuan sel darah merah dan konstriksi vaskuler pulmoner. Penyebabnya diduga karena kenaikan tekanan kapiler.
Pendakian yang cepat ke ketinggian sedang dan yang lebih tinggi, sering disertai dengan berbagai gejala penyakit, diantaranya sebagai berikut :
1.      Penyakit Gunung Akut
Ini adalah kondisi yang sering dialami pada 4-72 jam pertama pada ketinggian di atas 2000 m. Hal ini disertai dengan gejala-gejala misalnya sakit kepala, mudah tersinggung, susah tidur, pusing, mual, tak ada nafsu makan dan muntah. Berat gejala-gejala tersebut bagian terbesarnya tergantung pada kecepatan pendakian. Penyakit gunung akut (PGA) dapat diminimalkan bila pendakian dari ketinggian rendah (<1500 m) ke ketinggian sedang (>2000 m) berlangsung lambat meliputi beberapa hari, asupan cairan dan karbohidrat dalam tata-gizi ditingkatkan dan program latihan diatur pada tingkat yang ringan. Biasanya penyakit itu hanya berlangsung untuk 2-3 hari. Acetazolamide (Diamox = sejenis diuretika) terbukti dapat meminimalkan kejadian PGA (Sutton et al. 1979).
2.      Udema Paru Pada Ketinggian Tinggi
Hal ini adalah kegawatan medis dan memerlukan pertolongan segera dan bila mungkin dievakuasi. Perjalanan waktunya sama dengan PGA. Gejalanya yang menonjol meliputi sesak nafas, batuk, rasa tak nyaman di dada dan sering disertai terbentuknya sputum yang banyak dan berbusa disertai bercak darah. Pertolongan terdiri dari mengistirahatkan penderita dalam posisi tegak (mengurangi udeme paru), memberi O2, frusemide (Lasix - diuretika) dan bila mungkin segera evakuasi.
3.      Udema Cerebral Pada Ketinggian Tinggi
Hal ini jarang, tetapi merupakan ancaman maut yang terjadi pada ketinggian lebih dari 4000 m. Gejalanya meliputi sakit kepala yang hebat, disorientasi, halusinasi dan coma, dan pertolongan memerlukan terapi O2, kortikosteroid intravena dan segera evakuasi ke dataran rendah. Sekali lagi, pencegahannya dapat dilakukan dengan memberi waktu untuk aklimatisasi selama pendakian yaitu pendakian harus dilakukan secara lambat.
4.      Perdarahan Retina Pada Ketinggian
Pada ketinggian di atas 3500 m perdarahan-perdarahan kecil dapat terjadi di retina. Biasanya asymptomatik kecuali bila terjadi di daerah macula lutea maka akan terjadi gangguan penglihatan. Perkiraan bahwa pendaki-pendaki gunung yang terlatih akan mendapat risiko yang lebih sedikit terhadap masalah-masalah ketinggian ternyata tidaklah benar. Bahkan pendaki-pendaki besar seperti Sir Edmund Hillary (orang pertama yang mencapai puncak Gunung Everest) juga menderita beberapa kegawatan medis oleh ketinggian, yang mengancam maut.

BAB III
KESIMPULAN

1.        Adaptasi manusia merupakan penyesuaian dan perubahan yang memungkinkan manusia untuk menjaga atau memelihara dirinya sendiri dalam lingkungannya.
2.        Mekanisme adaptasi manusia dilakukan untuk menghadapi stress lingkungan, yaitu suatu kondisi yang mengganggu fungsi normal organisme. Fungsi dari adaptasi adalah kesesuaian manusia dengan lingkungannya, terjadi melalui hubungan yang kompleks diantara mereka sendiri dengan lingkungan fisik, biologi, dan sosial, serta meliputi indikasi fisiologis, psikologis, sosial, dan genetik. Jadi dalam menghadapi tekanan lingkungan bentuk fungsional organisme dapat bersifat temporal atau permanen melalui proses yang pendek atau seumur hidup meliputi fisiologis, struktural, tingkah laku dan perubahan budaya. Berdasarkan sifatnya, secara garis besar, adaptasi dibedakan dalam adaptasi biologi dan adaptasi budaya.
3.        Perbedaan dalam ketinggian mempunyai perbedaan dalam ekologi. Hidup pada tempat tinggi akan menerima stress ekologis yang kompleks, diantaranya hipoksia, barometer rendah, radiasi matahari tinggi, suhu udara dingin, kelembaban udara rendah, angin kencang, nutrisi terbatas, dan medan yang terjal. Secara fisiologis, stress lingkungan yang paling penting adalah hipoksia yang mempunyai efek pada fungsi paru-paru, fungsi sirkulasi pada jantung, darah, sirkulasi retinal, sensitivitas cahaya, memori dan pembelajaran, pendengaran, fungsi motorik, perasa dan pengecap, anoreksia dan kehilangan berat badan, aktivitas ginjal, fungsi tiroid, sekresi testosteron, dan fungsi seksual.
4.      Mekanisme adaptasi manusia terhadap ketinggian terdiri atas adaptasi biologi dan budaya. Adaptasi biologi manusia dari ketinggian terjadi secara fisiologis, genetis, dan biokimia. Mekanisme adaptasi fungsional terjadi melalui aklimatisasi berhubungan langsung dengan ketersediaan oksigen dan tekanan oksigen pada jaringan, terjadi melalui modifikasi ventilasi paru-paru, volume paru-paru dan kapasitas difusi pulmoner, transport oksigen dalam darah, difusi oksigen dari darah ke jaringan, dan penggunaan oksigen pada tingkat jaringan.
5.      Mengetahui patofisiologi ketinggian adalah penyakit fisiologis yang disebabkan oleh stress lingkungan tempat tinggi. Terdapat beberapa penyakit fisiologis pada ketinggian seperti mountain sickness akut,  edema pulmoner, perdarahan retina pada ketinggian, dan udema cerebral pada ketinggian tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Adaptasi terhadap Ketinggian. Diambil dari http://repository.upi.edu/operator/upload/s_d515_0607052_chapter2.pdf diakses pada tanggal 15 Mei 2011 pukul 22.15 WB
Ayu, Anatriera. 2009. Hipoksia. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Anonim. Modul VII : Stress Lingkungan. Fakultaas Pendidikan Olahraga  dan Kesehatan Jurusan Pendidikan Olahraga. Diambil dari www.google.co.id pada tanggal 15 Mei 2011 pukul 22.15 WB
Janatin, Hastuti et al.2005.  Sains Kesehatan : Ciri Antropometris dan Kapasitas Vital Penduduk Dataran Tinggi Kulon Progo. Yogyakarta: UGM
Rian, Hidayat. 2009. Apa yang Terjadi pada Tubuh Kita di Ketinggian ?. Diambil dari http://rianh.wordpress.com/ pada hari selasa, 10 Mei 2011 pukul 14.00 wib
Tutiek, Rahayu. 2011. Handout Adaptasi Manusia Terhadap Ketinggian. Yogyakarta: Jurdik Biologi FMIPA UNY.

 
                                                  Disusun oleh :
Hafidha Asni Akmalia  08304241003
Nurul Suwartiningsih    083042410
Sri Bekti Utami            08304241021
Riza Sativani Hayati     08304241029

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tulis Komentar !!!